Rabu, 16 Oktober 2013

Masihkah Ada Cinta di Kota ini...??

Kota Tokyo

Tokyo dan mungkin juga kota lainnya di Jepang, bukanlah kota yg romantis. Disana, kita hampir tidak akan pernah melihat suasana romantis di jalan-jalan. Jarang sekali terlihat disana sepasang kekasih atau suami istri yg jalan bergandengan tangan, berpelukan atau saling memandang mata dengan hangat. Kaum pria dan wanita di Tokyo secara umum tampak dingin, bahkan cenderung tanpa ekspresi. 
Samurai Girl. cakep gan
 Ada seorang teman yg pernah tinggal di Tokyo bercerita bahwa di Tokyo, betapapun kita tampil menarik, tak ada lawan jenis yang melirik. Para pria di tokyo tak bergeming meski ada wanita cantik di hadapan mereka. Para wanita juga demikian, tak ada reaksi saat mereka melihat pria ganteng nan keren didepannya. Yah tapi tetep ada pengecualian satu atau dua saja, tidak banyak, alias secara umum itu jarang terjadi.
Di Jalan
 Di jalan, kereta dan bus kota. jika diperhatikan, semua orang duduk diam tanpa ekspresi atau asik dengan gadget, telepon, buku dan kesibukan masing-masing. Di restoran-restoran kawasan Marunoichi, pada waktu jam istirahat makan siang, banyak terlihat kaum lelaki bergerombol bersama lelaki, sedangkan yg wanita juga demikian, bergerombol bersama wanita.
Restoran

Didalom Kereta

 Doryou atau rekan kerja terlihat saling bicara dan tertawa di berbagai warung udon, sushi atau tempura. Tapi jarang sekali terlihat pria dan wanita bersama-sama dalam satu kelompok, sebagaimana yg sering kita lihat di kota-kota besar di Indonesia atau di kota-kota besar di dunia.



 Relationship / hubungan pria dan wanita di jepang memang unik dan penuh cerita. Tradisi masyarakat samurai atau Bukeshakai telah membentuk cara pandang pria terhadap wanita, demikian pula sebaiknya. Ada ungkapan lama di jepang yg berbunyi “Daidokoro wa onna no seiiki” atau “dapur adalah tempat bagi wanita”, nah ini identik dengan ungkapan orang jawa pada jaman dahulu adalah, “Macak,Masak lan Manak” (berdandan, memasak dan melahirkan)




 Status sosial kaum wanita di jepang, dibandingkan dengan di negara maju lainnya, masih paling rendah. Meski pemerintah jepang setelah Perang Dunia II telah mengeluarkan UU yg menjamin kesetaraan antara pria dan wanita, perbedaan status sosial gender masih terlihat mencolok di muka umum. Di dunia kerja, masih sulit bagi kaum wanita untuk bisa setara dengan pria .Selain dari tradisi samurai, mengamati romatisme dan struktur bahasa jepang juga menarik.

Dalam bahasa jepang, sulit mencari kata-kata romantis gan .ane pernah bertanya sama temen yang lama tinggal di jepun, apakah ada kosakata jepang yg berfungsi untuk merayu..wanita, yah ibarat kata-kata gombal gitu deh seperti “Sayang, cinta, manis, kekasih hatiku, pujaan hatiku, belahan jiwaku” dan yang lainnya, ada atau tidak..? jika dalam bahasa inggris itu sejenis dengan “darling, honey, baby, sweet heart” dan lain-lain. Kemudian, temen ane berpikir keras, meng overclock otaknya sedemikian rupa . Dan akhirnya dia menjawab : Tidak ada !. Menurutnya wanita jepang justru merasa aneh jika ada pria yang menggunakan kata-kata manis, merayu-rayu atau bahkan nggombal. Kata-kata I love you jarang digunakan oleh pria-pria jepang.



 Beberapa waktu lalu, di Hibiya Park, Tokyo, diadakan sebuah festival unik, festival berteriak “I LOVE YOU”. Sebuah festival aneh dan lucu bagi kita orang indonesia tapi menurut ane tujuannya bagus, yaitu agar mendorong dan memberikan dorongan ruang untuk berekspresi bagi kaum pria jepang, yang terkenal kaku, untuk menyatakan Cinta pada kekasihnya.

Hibiya park
 Jika kita melihat huruf Kanji nya, perbedaan struktur gender itu juga menarik untuk diamati. Kanji kata untuk “suami” (Shujin) terdiri atas dua huruf, yang masing-masing bisa diartikan “orang utama”. Nah sementara itu, kanji untuk kata “istri” bisa terdiri atas dua huruf yang berarti “di dalam rumah”.







Masyarakat jepang sejak jaman dahulu sudah mengenal tradisi Omiai atau jenis perkimpoian yang diatur oleh pihak keluarga. Seorang wanita tidak bisa sepenuhnya memilih pasangan hidup karena adanya tradisi itu. Namun, di era modern saat ini, tradisi Omiai sudah jarang dilakukan.



 Dari berbagai hal unik tersebut, bisa kita lihat bahwa pria dan wanita di jepang bukan tipikal makhluk yg mudah untuk “get along very well”. Saat-saat mereka terlihat bersama selalu terlihat seperti ada batas diantara mereka sehingga pembicaraan menjadi formal dan kaku. Keduanya tak bisa bebas tertawa apalagi mengungkapkan rasa layaknya pria dan wanita di negara kita.

 Para pria merasa lebih nyaman hanging out bersama teman sesama pria, demikian pula kaum wanita. So jangan heran jika di jepang banyak sekali terlihat tempat atau perlakuan khusus bagi para wanita . Restoran misalnya, mereka menyajikan menu khusus wanita atau “redisu menu” (ladies menu). Biasanya pada hari Rabu dan Kamis, restoran-restoran di Tokyo menyajikan menu-menu tersebut dan para wanita berkelompok makan bersama .

 Contoh kedua misalnya kita bermain-main ke Warnet, warnet di tokyo terdapat sebuah ruang khusus untuk wanita atau “josei senyo busu” (women’s only booths). Dan kebanyakan hotel2 di jepang juga mempunyai redisu setto (ladies set) untuk para wanita. Bahkan kereta api pun (di indo juga ada) memiliki gerbong khusus wanita, atau josei senyosha (women only cars), yg bertujuan melindungi kaum wanita.



Jepang memang fasih menunjukkan nilai-nilai seperti ketekunan, kerja keras, atau semangat pantang menyerah, dalam tiap sandi kehidupan mereka. Tapi tidak dengan Romantisme. Menjadi hangat dan romantis, menunjukkan kelembutan, rayuan dan pandangan mata penuh kasih sayang kepada kekasih , nampaknya bukan merupakan ciri umum masyarakat jepang.

Seorang wanita muda amerika yang tinggal di jepang menulis dalam blog-nya, “Kalau kita datang sebagai single ke kota ini, bekerja beberapa tahun, biasanya kita juga akan pulang ke negeri kita tetap dalam keadaan single.”
sebuah simbol cinta di Shinjuku


Source : Kaskus ( dengan ubahan seperlunya) 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar